Oleh P. Hasudungan Sirait

Media Komunitas (MK) sebaiknya lebih banyak mewartakan perkembangan dari hari ke hari di tengah komunitas yang menjadi khalayaknya. Sebab ‘kabar dari tengah kita’ itulah yang paling ditunggu khalayak tadi.  Jadi prioritas MK  adalah berita. Adapun yang bukan news—seperti refleksi, opini, kisah fiksi, humor, asah otak—lebih pas menjadi komplementer saja, bukan sajian utama.

Reportase atau liputan lapangan dengan demikian menjadi imperatif atau keharusan. Pekerjaan ini—sebutan lainnya news gathering—sebaiknya dilakukan tidak hanya lewat wawancara seperti kebiasaan umum wartawan di negeri kita ini tapi juga dengan  observasi dan riset data. Semacam mata trisula hubungan ketiga elemen ini.

Untuk media bukan harian—seperti majalah, tabloid, atau buletin—reportase berarti menjalankan atau mengeksekusi hasil perencanaan liputan yang disebut outline penugasan atau TOR (term of reference). Jika tak ada perkembangan yang dramatis atau mendasar di lapangan setelah rapat perencanaan liputan usai TOR inilah acuan segala kegiatan penghimpunan informasi yang dilakukan peliput.

Katakanlah reportase telah rampung. Bahan lengkapnya telah tersedia  di meja anda  sebab andalah yang bertugas sebagai  penulis.  Kedudukan anda entah itu reporter, redaktur, atau juru tulis belaka. Bagaimana anda menuliskannya? Langkah-langkah seperti apa yang perlu anda ambil?

Agar terarah dan tak memubazirkan energi serta waktu, anda perlu merencanakan langkah. Berikut ini serangkaian langkah alternatif untuk anda, sesuatu yang biasa dijalankan para penulis di jajaran redaksi. Pertama, bacalah kembali secara cermat  outline penugasan atau TOR itu.  Perhatikan latar masalah (termasuk urgensi sehingga masalah perlu diangkat), sudut pandang (angle), dan pembagian tulisan. Kalau sudah, kedua, bacalah seluruh bahan reportase tersebut. Juga, kalau ada foto-foto perhatikanlah sebab hasil jepretan ini adalah berita dalam bentuk lain. Catatlah (dalam bentuk pointer saja)  bagian-bagian terpenting dari laporan itu. Kalau tidak, tandai  saja. Langkah berikutnya, ketiga,  adalah pilah-pilah laporan itu sesuai pembagian tulisan. Lalu, keempat,  menulislah dengan senantiasa fokus agar satu bagian tidak tumpang tindih (over-lapping) dengan bagian lain. Ingat: menulis sangat membutuhkan disiplin diri dan ketegaan membabat apa saja yang tak perlu atau berkabut.   Membuat kerangka untuk setiap bagian yang akan ditulis akan membantu anda tetap pada lintasan yang benar (on-the track).  Kalau perlu kerangka ini sederhana saja, cukup berupa corat-coret (orat-oret, kata orang Jawa).

Tadi saya katakan ‘lalu menulislah dengan senantiasa fokus….”. Sebaiknya dari mana tulisan bermula? Mungkin pertanyaan ini kontan menyeruak di benak anda sebaik kalimat anjuran tadi muncul.  Jawabannya, memulai tulisan bisa dari mana saja asal dari sesuatu yang menarik. Agar mudah membayangkan, ingatlah  film-film layar lebar yang berkelas. Awalannya bebas, bukan?  Dari mana saja tak masalah; tak harus dari adegan tertentu. Prinsipnya sama kendati  yang satu menggunakan bahasa tulis dan yang satu lagi memakai bahasa audio-visual.

Dalam film, gambar atau suara atau kombinasi keduanya yang muncul seselesai  tittle nama para pendukung selalu dimainkan betul. Tujuannya untuk mengkondisikan keadaan kejiwaan para penonton sehingga selekasnya mereka masuk ke alam cerita. Dalam pembuka tulisan pun efek yang akan kita kejar sama. Sebab itu pembuka atau lead harus kuat.

Apa sebaiknya yang kita pakai sebagai pembuka tulisan? Bisa apa saja, tapi, sekali lagi: asal menarik. Kalau gaya tulisan kita adalah perkisahan (feature) maka penggalan kisah, potret suasana, sebuah adegan, pengenalan masalah, poin terpenting dari informasi, realitas yang kontradiktif, kontroversi, sebuah hipothesis (bisa dari kita si penulis), atau guyonan (joke) yang kontekstual, sangat  mungkin menjadi pilihan kita.  Kalau pun gaya yang kita pilih adalah analisa (news analysis) semua pilihan yang barusan disebut tetap bisa kia pakai.

Setelah pembuka selesai kita masuk ke tubuh tulisan. Isinya tentu paparan atau eksplanasi dari hal yang menjadi topik tulisan. Kalau masalah yang kita ulas maka duduk perkara dan relasi antar benang masalah yang saling berpilin mendapat tempat utama di tubuh ini. Jawaban unsur 5 W+1H itulah materi intinya.

Seperti pembuka, agar tubuh berita bernas dan lebih hidup manfaatkanlah  anasir seperti penggambaran (deskripsi), komparasi, analogi, ilustrasi, kutipan (omongan atau isi sebuah karya),  latar sejarah, data, dan metafora.  Ada catatan khusus ihwal deskripsi.

Sebagai penulis modal kita hanyalah kata. Berbeda dengan sang pembuat film yang memiliki gambar hidup dan suara sekaligus. Mengukir kata untuk membangun atmosfir berita itulah yang bisa kita lakukan, padahal efek yang kita kejar sama saja dengan efek film yakni menghanyutkan total pembaca atau penonton ke dalam suasana perkisahan. Hal ini hanya bisa kita lakukan lewat penggambaran yang kuat. Yang terakhir ini sendiri hanya akan mampu kita lakukan lewat observasi yang intens, wawancara yang terfokus dan dalam,  serta riset data yang betul-betul terpilih dan relevan.

Sekarang ihwal penutup. Sejak awal bagian ini perlu kita rancang betul. Ya, seperti film-film yang bagus.  Isinya bisa klimaks atau anti-klimaks, garisbawah hipothesis, pesan atau gugahan atau gugatan dari kita sang penulis,  gambaran ironi, atau  anekdot.

Reportase Dairi

Agar paparan ini lebih mudah anda tangkap saya akan mencontohkan pengalaman saya baru-baru ini merampungkan tulisan hasil sebuah reportase.

Ceritanya, saya bersama teman yang menjadi bagian dari sebuah tim mendapat tugas menulis ihwal Dairi, sebuah kabupaten di Sumatera Utara. Kami lantas melawat ke sana.  Sebelum bertolak  dari Jakarta, saya mempejari dulu Dairi  karena memang masih awam soal kabupaten ini. Tahu namanya tapi belum menjajakkan kaki di sana. Perkembangan pariwisatanya antara lain yang saya dalami. Caranya saya bertanya ke beberapa orang Dairi di Jakarta yang saya kenal. Juga membacai beberapa buku terkait dan meriset data di internet lewat mesin pencari.

Nanti salah satu yang akan saya tulis tentang pariwisata.   Outline tulisan TOR-nya saya buat.  Sederhana saja. Topiknya, masa depan pariwisata Dairi. Angle-nya,  strategi menjual pesona alam  kabupaten ini. Tulisannya ada tiga. Yang pertama (sifatnya rangkuman), ihwal alamnya yang sangat eksotik dan nilai jualnya. Dua tulisan lainnya bersifat pendukung yakni tentang dua objek turis utama di sana: Taman Wisata Iman (TWI) di Sitinjo (dekat Sidikalang) dan Silalahi di tepi Danau Toba.

Di Dairi kami reporting beberapa hari. Yang saya lakukan ya wawancara, observasi, dan mencari bahan literatur. Selain ibukota Sidikalang, saya ke TWI dan ke Kecamatan Silalahi. Dairi yang masih alami ternyata mencuri hati saya. Ingin saya menyelami relung-relungnya yang lebih jauh,  tapi sayang waktu saya tak banyak.

Sekembali dari Dairi  seluruh bahan saya pelajari. Setelah itu saya tulis. Hasilnya adalah tiga artikel berikut.

KOP Menjual Pesona Alam Dairi

Dairi berada di dataran tinggi. Ada keistimewaan setiap kawasan yang terletak di lokasi seperti ini. Udaranya pasti dingin karena oksigen di sana tipis. Lalu,  konturnya bertakik-takik. Ya, Dairi sendiri bertopografi bukit dan gunung. Saking banyaknya tonjolan buminya ada yang menyebut Dairi negeri seribu bukit dan gunung. Sebutan yang tak berlebihan.

Konsekuensi dari kontur yang bertakik-takik ini banyak. Tebing dan jurang menjadi jamak. Karena sungai berhulu di gunung atau bukit maka jeram dan air terjun menjadi banyak pula. Sungai ini pelbagai ukuran; yang terpanjang adalah Lae Renun (120 Km) yang berhulu di hutan Lae Pondom. Jenis jeramnya juga beragam, mulai dari yang berarus jinak hingga yang liar.

Kendati telah menjadi korban perambahan puluhan tahun hutan Dairi masih cukup luas. Yang selamat dari tangan-tangan pembalak (baik pemegang hak pengusahaan hutan atau HPH maupun penduduk lokal yang menjadi perpanjangan tangan para cukong) terutama kawasan yang berada di gunung dan bukit. Akses yang sulit ke sana menjadi perintang bagi para pelahap kayu tersebut.

Hutan yang menghampar telah menganugerahi Dairi air yang berlimpah. Dari hulu di hutan air sungai-sungai mengalir jauh. Sebagian bermuara di Danau Toba. Tak syak lagi  bahwa setelah  sebagian air  Lae Renun dialirkan ke Danau Toba bersama 11 anaknya (dimaksudkan untuk memutar turbin PLTA Renun), Dairi menjadi kontributor air utama untuk danau terbesar di Asia Tenggara tersebut.

Daftar Nama dan Panjang Sungai Menurut Lokasi

No

Nama Sungai

Name of River

Tempat / Kecamatan

District

Panjang / Long (Km)

1

2

3

4

1

Lae Renun Sumbul

120

2

Lae Simbelen Sidikalang

60

3

Lae Simuhur Pegagan Hilir/Tigalingga

15

4

Lae Luhung Siempat Nempu

25

5

Lae Manalsal Tanah Pinem

20

6

Lae Mbilulu Tigalingga

7

7

Lae Lobe Siempat Nempu

5

8

Lae Gunung Tanah Pinem

10

9

Lae Panginuman Silima Pungga-pungga

4

10

Lae Pangoroan Silima Pungga-pungga

4

11

Lae Kentara Silima Pungga-pungga

10

12

Lae Panecoh Silima Pungga-pungga

8

13

Lae Silobi Silima Pungga-pungga

4

14

Lae Pendaroh Sidikalang

7

15

Lae Nuaha Sidikalang

6

16

Lae Patulen Sumbul

8

17

Lae Longki Siempat Nempu

8

Jumlah

321

Sumber : Kabupaten Dairi Dalam Angka Tahun 2007

BPS Kabupaten Dairi Tahun 2007

Jelaslah bahwa Dairi memiliki sekaligus banyak gunung, hutan, rimba, dan sungai.  Juga aneka lokasi eksotik yang merupakan konsekuensi dari topografi yang disebut tadi. Di antaranya tebing, jurang, jeram, gua, dan air terjun. Flora dan faunanya tentu saja kaya pula. Tanaman langkanya, misalnya, rupa-rupa. Di antaranya keburuen (kapurbarus), kemenjen (kemenyan), nilam, otor-otor (seperti anggur),  keppeng (semacam buah asam), dan panggaben (sejenis sedap-sedapan).[1] Hewan khasnya juga aneka terutama unggas.

Potensi Objek Wisata Alam di Kabupaten Dairi

No

Objek Wisata

Lokasi

Jarak dari Sidikalang

1

2

3

4

1

Panorama Indah Pantai/ Danau Toba Silalahi-Paropo

Kec. Silahisabungan

48 Km

2

Panorama Indah Puncak Sidiangkat Sidiangkat Kec. Sidikalang

4 Km

3

Hutan Wisata Lae Pondom Pegagan Julu II Kec. Sumbul

31 Km

4

Rumah Adat Pakpak Sikabeng-kabeng Sikabeng-kabeng

Kec. Sumbul

20 Km

5

Panorama Alam Aek Nauli Desa Lae Markelang

32 Km

6

Panorama Indah Air Terjun

Lae Basbas

Desa Pardomuan

Siempat Nempu Hilir

40 Km

7

Panorama Indah Danau Diatas Gunung Kempawa Desa Kempawa

Kec. Tanah Pinem

42 Km

8

Panorama Indah Letter “S” Desa Sitinjo Kec. Sitinjo

8 Km

9

Panorama Indah Gua Dalam/ Panjang Kadet Liang Desa Gunung Sitember

Kec. Tigalingga

38 Km

10

Air Terjun Lae Pandaroh Desa Sitinjo

11 Km

11

Benda Bersejarah Batu Aceh Kel. Sidiangkat

6 Km

12

Bangunan Zerro Desa Pardomuan

28 Km

13

Panorama Indah Kangkung Desa Pardomuan

30 Km

14

Huta Rekreasi Uruk Simbelin Lae Itam

67 Km

15

Mata Air Bonian Desa Bonian

32 Km

16

Panorama Silomboyah Desa Silomboyah

11 Km

17

Kerbo jadi Batu Kerbo Desa Bantun Kerbo

10 Km

18

Dua Buah Gua Sitanduk-tanduk Desa Tambahan

15 Km

19

Peninggalan Bersejarah Tigalingga Desa Tigalingga

26 Km

Sumber : Kabupaten Dairi Dalam Angka Tahun 2007

BPS Kabupaten Dairi Tahun 2007

Kelimpahan alam seperti ini tentu merupakan potensi wisata yang luar biasa. Khususnya wisata yang berbasiskan kealamiahan dan keterjagaan kawasan. Geowisata dan ekowisata tercakup di sini.  Memanfaatkan pelbagai keistimewaan alam tadi   pelbagai kegiatan penghidup dunia wisata sangat mungkin dikembangkan di daerah ini. Di antaranya arung jeram (rafting), penyusuran gua (speleologi), panjat tebing (climbing), mendaki gunung (mountaineering), sepeda gunung, lari lintas alam,  berjalan kaki (tracking dan jogging), dan berkemah (camping).

Di zaman sekarang konsep wisata telah berkembang luas. Ada geo wisata, wisata kuliner, belanja, berkebun,  dan yang lain. Keeksotikan alam semata tak cukup lagi sebagai bahan dagangan. Kemampuan mengemas, mempromosikan, dan memasarkan  juga menjadi menjadi penentu nasib yang maha penting.  Kreativitas sangat dibutuhkan untuk itu semua. Kombinasi sejumlah objek dan suguhan kultural, misalnya,  bisa dipaketkan agar lebih menarik dan laik jual.   Itulah antara lain tantangan untuk dunia wisata kabupaten ini di masa sekarang dan depan.

Taman Wisata Iman

Kekuatan Sebuah Gagasan

Matahari masih tinggi saat itu tapi tak lama lagi petang bakal  menjelang.  Keadaan di kitaran gereja yang bersebelahan dengan masjid dan kuil itu selama beberapa jam lebih sering lengang. Kalau pun sesekali ada pengunjung yang menapak bukit untuk sampai ke sana  mereka lebih sekadar melongok saja. Dari bawah memang bangunan bergaya khas gereja Batak yang menyembul di puncak bukit ini sedap dipandang (eye catching). Ada juga yang menjejakkan kaki di sana sebatas untuk menuntaskan pelancongan seluruh kawasan; jadi  tak sampai berlama-lama. Hari itu Jumat, bukan hari libur. Wajar kalau turis sepi.

Dari pelataran bukit Golgata yang menghampar di puncak bukit sebelah gereja tadi jaraknya hanya sekitar 200 meter.  Turun dari tangga pelataran kita tapaki saja  jalan raya berbentuk kurva cekung. Sampai sudah tanpa perlu terengah-engah.

Keheningan di kitaran gereja mendadak berujung. Awalnya bunyi kendaraan besar yang menghampir dan berhenti terdengar. Lalu   suara sayup-sayup orang bercakap. Kepala-kepala pun bermunculan seiring mengerasnya suara tersebut. Ibu-ibu ternyata, jumlahnya dua puluhan.  Hampir semua dengan bawaan. Tas tangan, tas kresek berisi, kardus, dan yang lain. Dua-tiga dari mereka memangku bayi. Melihat penampakannya yang kusut masai pastilah mereka dari jauh.  Tapi binar kegairahan pelancong tetap tampak di wajah letih mereka.

Tikar digelar beberapa helai di atas rumput di halaman kiri gereja. Barang-barang tentengan ditaruh. Beberapa orang meletakkan badan begitu saja begitu tikar tergelar; rebahan untuk menghalau kepenatan. Lalu seorang lelaki dewasa muncul dengan beban yang sarat: termos nasi dan sekotak besar air mineral gelas. Berkali-kali ia pergi dan muncul lagi dengan pelbagai barang bawaan.

Kesibukkan menyiapkan santapan siang kemudian terlihat. Seorang perempuan  paruh baya menyendoki nasi ke kertas coklat pembungkus. Mengikuti prinsip ban berjalan setiap nasi yang telah dibungkus disambut teman-temannya untuk diisi lauk-pauk dan sayur.  Menu yang tersedia ikan emas arsik, telor dadar, ikan teri, ikan asin, sambal sayur pahit, dan timun iris. Dengan suara keras si pembagi selalu menanya mau menu apa kepada setiap calon penerima santapan.

Sudah terlalu lapar rupanya sehingga seorang dari mereka mulai bersantap setelah mengatakan, “Berdoa masing-masing saja ya.”  Padahal belum separuh yang menerima jatah makan siang. Usul tadi diterima begitu saja. Acara mengganyang suguhan yang niscaya dipersiapkan sendiri dengan berbagi tugas pun berlangsung ditingkahi dengan canda. Lelaki dewasa satu-satunya di tengah mereka kerap menjadi objek guyonan. Sopir bus tiga perempat yang mengangkut rombongan ternyata dia. Selalu tangkas ia membalas  celotehan. Tampak rukun mereka.

Siapa gerangan mereka—umurnya campuran sepuh-belia tapi paling tidak 30-an tahun—yang berbahagia ini? Mereka yang umumnya berpenampilan bersahaja ini ternyata orang Pematang Siantar, dari serikat sekampung (parsahutaon).  Tujuannya? Ya piknik. Taman Wisata Iman (TWI) ini sasaran utama mereka. Sasaran antaranya sejumlah tempat eksotik di sepanjang lintasan P. Siantar-Tigaras-Tongging-Sidikalang. Untuk mengejar target berangkat subuh mereka dari P. Siantar. Sengaja dari Sidikalang dulu baru ke TWI agar bisa lebih leluasa mengatur sisa waktu. Setelah itu akan langsung pulang.

Beberapa dari mereka mengatakan sangat senang karena akhirnya bisa ke Taman Wisata Iman. Kunjungan ke lokasi ini   mereka maknai secara khusus yakni sebagai  ziarah rohani.   Ke Sidikalang, umumnya ini kali pertama bagi sebagian besar mereka.

***

Dua perempuan berumur—satu sudah 70-an tahun dan satu lagi sekitar 60-an—menapak kompak. Keduanya berbaju rok. Yang lebih tua bertongkat, berkaos kaki-sandal,   dan syal kecil melingkar di lehernya. Sesekali, terutama kalau hendak menapak undakan, ia ditopang temannya. Umur dan kondisi tubuh tampak tak berhasil memupuskan hasrat keduanya yang menggebu.

Mereka menapaki sepanjang jalan salib (via dolorosa) yang lebih mirip trotoar dengan lamban tapi pasti. Di setiap lokasi yang ada patungnya mereka berhenti dan menghampir. Senantiasa bertanya jawab mereka di sana. Terkadang berdebat kecil juga saat menafsir. Saling uji pengetahuan isi Alkitab yang diperoleh sejak masa sekolah minggu tampaknya mereka. Entah mengapa keterangan tertulis (caption)  di dekat patung tak selalu mereka baca sehingga  terkadang tafsir atau silang pendapatnya lari dari konteks.

Kedua nenek Toba itu—dari penampakannya berlatar keluarga  mapan—belum mencapai sepertiga lintasan tatkala sebuah keluarga yang tadinya menapak belakangan  sudah muncul dari arah yang berlawanan. Artinya keluarga itu telah usai mengitari TWI. Pimpinan keluarga itu menyapa akrab karena rupanya telah bertukar salam waktu masih di bawah. Kedua nenek membalas dengan hangat. Tanpa terpengaruh oleh kecepatan jelajah keluarga tadi, mereka kembali berdebat sembari meneruskan langkah yang kian tertatih.

Setelah lebih dari satu jam akhirnya kedua nenek tampak di pelataran bukit Golgata dimana di ujungnya patung raksasa Yesus dan dua orang lainnya tersalib, tegak. Rayuan seorang tukang foto meluluhkan keduanya. Bersanding mereka di depan patung akbar untuk diabadikan sang juru potret.   Keceriaan dan kepuasaan terpancar dari wajah keriput keduanya. Wajar tentu, karena kisah perjalanan Yesus dari bayi di palungan hingga menjadi seorang dewasa yang lunglai tersalib segar lagi di benak  mereka berkat serangkaian patung berlatar. Pencerapan  yang kelihatannya telah menggugah jagat iman dan ingatan mereka yang terbentuk sejak  masa lalu yang begitu jauh. Sangat mungkin kalau pengobar  lain keriangan mereka kini adalah kemampuan menahlukkan sebuah bukit  kendati harus dengan berpayah-payah.

***

Sepasang remaja menjadi pengunjung lain TWI tengah hari itu.  Tak seperti yang lain yang banyak bergerak melongok lokasi ini-itu, pasangan ini bergeming saja di sebuah tempat terpencil. Di samping sebuah pohon besar yang menghadap Sumbul yang menghampar di kejauhan  mereka. Sudah lebih sejam keduanya di sana. Kalau semula berjarak, kini sudah duduk merapat mereka dengan membelakangi lintasan. Akar besar pohon yang menyembul menjadi bantalan pantatnya. Jangan tanya apakah bantalan itu tak keras.

***

The Power of Idea

Bukit–bukit bersambung seolah tak berujung. Dari sebuah bukit tampak pemandangan laksana objek klasik para pelukis yang disebut beraliran Indie mooi (Hindia elok): lembah yang menghampar luas,  sawah, ladang, perkampungan, dan hutan yang menyatu dengan kaki langit.   Di atasnya awan cerah bergulung-gulung menyembul di langit yang beralaskan puncak gunung.

Tempat menatap itu ada  di Sitinjo, desa yang berjarak sekitar 10 Km dari Sidikalang  mengarah ke Medan. Persisnya di lokasi sebuah patung rangkaian jalan salib, di Taman Wisata Iman.

Bukit ini memang asri murni. Sebaik meninggalkan gapura utama, hutan pinus akan menyambut kita. Sebuah lapangan luas yang dibelah jalan raya dan di kanannya berderet warung menjadi pemberhentian terakhir kendaraan bermotor. Lintasan untuk pejalan kaki merupakan jalur terusannya.  Jalan yang terus menanjak akan mengingatkan bahwa bukit tinggilah yang sedang kita tuju.

Udara akan semakin dingin seiring bertambahnya ketinggian yang kita capai. Mulut bisa beruap di tempat-tempat tertentu. Kicau burung dan desir angin yang kerap begitu kentara menjadi simfoni  alam.  Ah, berasyik-masyuk dengan alam diri ini pun serasa ada di dunia lain nan jauh dari realitas hidup keseharian.  Dalam kondisi ini spritualitas atau religiositas seseorang pun menjadi rawan untuk tergugah.

Di sebuah tempat Lae Pandaroh membelah. Seperti namanya, sungai di sisi lintasan  ini memang berwarna merah darah. Faktor mineral kegunungan barangkali penyebabnya. Atau bisa juga akar kayu tertentu di hulu. Membuat lintasan di sebelah atas Lae Pandaroh merupakan ide kreatif. Juga membelah hutan pinus di sisi tebing sebagai lintasan utama via dolorosa dan menata lingkungan sekitar dengan menambahkan ragam tumbuhan termasuk kembang dan pohon-pohon khas Dairi.

Penempatan patung di sepanjang lintasan serba terukur dan proporsional. Kisah yang dipatungkan pun pas konteksnya. Yang menjadi masalah adalah patung-patung tokoh  itu sendiri yang terletak di ruang terbuka. Selain terkesan serba kinclong karena disepuh warna serba keemasan  juga ukurannya banyak tidak proporsional dari segi anatomi. Mereka yang peka syaraf estetiknya akan langsung melihat cacat ini. Andai saja pematung profesional yang menggarap, karya ini akan lebih menggenapi kelebihan  TWI.

Vihara, kuil, masjid, dan gereja semua ada di lokasi 13 hektar yang berjarak 152 kilometer dari Medan ini. Di lokasi masjid misalnya ada miniatur kabah yang bisa dipakai untuk latihan prosesi naik haji (manasik). Kapling untuk setiap tempat ibadah cukup besar. Tapi jatah untuk kaum Nasrani (Protestan dan Katolik) merupakan yang terbesar sehingga nyata  dominan. Tak akan mengundang kecemburuan? Tentu si penggagas proyek bisa berapologi dengan mengatakan ini sesuai komposisi pemeluk agama di Kabupaten Dairi.

Bukti kekuatan sebuah gagasan (the power of idea) dan kemampuan mewujudkannya. Itulah komentar yang pas untuk TWI. Betapa tidak. Sebelumnya Sidikalang, apalagi wilayah-wilayah  yang menginduk ke ibukota kabupaten ini, tak pernah  termaktub dalam peta pariwisata Sumut. Telebih Indonesia dan Asia Tenggara. Seakan tak ada satu pun titik  di kawasan ini yang patut dimasukkan ke dalam map tersebut. Keadaan sontak berubah sejak tahun 2005.

Sidikalang menjadi populer tak hanya di Sumut sejak TWI berfungsi. Tatkala merencanakan tujuan kunjungan, kota mungil ini pun disebut-sebut sebagai salah satu opsi. Dikira TWI persis ada di sana. Orang-orang gereja terutama dari lingkungan Huria Kristen Batak Protestan  (HKBP) di P. Jawa yang mendisain rute pelancongan kelompok ke Sumatera Utara otomatis akan   menyebut tempat yang satu ini di samping Salib Kasih di Tarutung. Dalam beberapa tahun belakangan gairah orang HKBP untuk berziarah rohani memang bangkit.  Ke Jerusalem kian banyak saja mereka berkunjung. Kalau yang berkantong tebal lebih jauh lagi ziarahnya: sekalian ke Eropa menjejak bumi Lourdes, Vatikan, dan tempat suci lain.

Dari gereja lain, termasuk yang bukan Batak,  pun banyak yang datang ke TWI. Keluarga atau perorangan juga. Tak hanya orang Indonesia tapi mancanegara termasuk Malaysia, Brunei, Singapura, dan Jerman.  Alhasil pegunjung tempat ini cenderung naik dari  tahun ke tahun. Tahun 2005, menurut data Dinas Pariwisata Dairi, 31.776 orang. Tahun 2006 menjadi 171.812 orang dan tahun 2007 menjadi 300.000 orang. Tahun 2008 ditaksir sekitar 500.000 orang. Harga tiket untuk orang dewasa cuma Rp 2.000 per orang dan anak-anak Rp. 1.000. Uang parkir untuk sebuah mobil Rp. 3.000 dan motor Rp. 1000. Jadi objek wisata ini telah menjadi penyumbang pendapatan asli daerah (PAD) penting Dairi sejak tahun 2005.

Pelbagai bisnis kini tumbuh di lokasi TWI. Antara lain makanan dan minuman, cinderamata,  dan fotografi. Kawasan ini pun menjadi lahan cari makan bagi penduduk sekitar dan kaum pendatang.   Perekonomian lokal  telah menggeliat. Maka beruntunglah Dairi berbupatikan Master Parulian Tumanggor.  Doktor lulusan Perancis inilah penggagas TWI. Dia pula yang tak jemu-jemu melobi pelbagai kalangan agar sudi menjadi donatur untuk proyek kreatif ini.

Pantai Silalahi

Pintu Masuk Danau Toba

Jalan menurun dan berkelok-kelok sebaik kita menyimpang dari jalan Medan-Sidikalang ke kiri ke arah kantor PLTA Renun. Huruf S yang berulang-ulang bentuknya. Jelas kita sedang menuruni tebing terjal perbukitan. Pohon-pohon pinus tegak di kanan jalan. Bersama tanaman perdu, pepohonan itu tumbuh di gundukan tanah berbatu. Menjadi pembatas alamiah, itulah fungsi gundukan itu.

Setelah sekian lama mata tertumbuk pada pinus dan perdu di kedua sisi jalan, mendadak hamparan terbuka menghempang. Tampak air dari danau yang maha luas. Bertepikan sebuah pulau memanjang di kaki langit air itu. Di kejauhan tampak perkampungan dengan rumah-rumah berupa noktah-noktah kecil.  Biru gelap pepohonan yang tertimpa sinar mentari menjadi penampakan yang dominan di dekat danau. Kalau matahari masih tinggi air danau akan tampak berpendar-bendar akibat riak yang ditimbulkan angin bertiup. Mereka yang pernah menyusuri jalan Siborongborong menuju kampung dinasti Si Singamangaraja, Bakara, akan merasa laksana di sana.

Kaki bukit menjelang setelah sisi terjal  lampau. Ladang dengan batu-batu gunung yang bertebar di atasnya, ada yang sebesar gajah dewasa, membentang. Kalau melihat batu-batu cadas yang menyembul di permukaan kita bisa mengatakan lapisan ladang yang ditanami tumbuhan holtikultura ini tidak tebal. Jadi tanaman yang cocok di daerah tandus yang lebih pas di sana. Sayuran, bawang, cabai, misalnya. Di kawasan yang ada tali air, ya padi juga.

Permukiman pertama yang akan kita temukan persis berada di sisi danau.  Silalahi namanya, kampung yang sekarang telah berstatus kecamatan. Jalan raya membelok ke kiri membentuk huruf L. Rumah-rumah berderet di kedua sisi jalan sampai ke kejauhan. Inilah jantung kawasan Silalahi, kawasan yang tanah ulayatnya dimiliki marga Silalahi. Kalau berbalik dan memandang ke arah kedatangan kita tadi akan tampak  hamparan bukit gigantik yang menjulang. Hutan Lae Pondom berada di belahan kirinya.

Sebuah tempat mengasoh terdapat persis di sisi jalan bersimpang dengan model L tadi. Ruangan yang sebelah sisinya (menghadap danau) berkaca menjadi bangunan utama di sini. Di sisi kanannya terdapat dapur terbuka. Kursi-kursi berpayung, tapi semuanya sudah berumur sehingga warnanya pudar dimakan cuaca, dideretkan di sisi danau. Tampak keramba bertebar—jaraknya  tak sampai lima meter—di bawah di sebelah kanan. Ikan nila dan emas pelbagai ukuran menjadi penghuni jejaring tersebut. Ikan-ikan berukuran kecil, di antaranya nila, emas, dan mujahir, tampak bebas di sisi luar keramba. Sebagian mereka bermain di sela-sela lumut berukuran besar yang berbiak setelah pelet keramba bertahun-tahun mencemari air danau.

Di tempat rehat ini sajian utamanya ikan. Kalau mau pesan tinggal bilang nila, atau ikan emas, atau dua-duanya. Pun ukuran yang seperti apa.   Kalau mau mujahir sebagai menu tambahan, boleh juga. Mau dimasak apa: digoreng atau dibakar? Atau kombinasi? Tinggal sebut. Minuman ringan pembuka tentu perlu. Order saja.

Kalau pesanan sudah selesai dicatat, pemilik tempat itu akan turun ke keramba. Menangkap ikan sesuai jenis dan ukuran yang diorder akan mereka lakukan. Sebaik mendapatkan yang diincar yang akan mereka lakukan adalah menyiapkan masakan di dapur terbuka. Kita bisa menyimak prosesnya dari jarak dekat, kalau mau.

Silalahi  kini menjadi salah satu daerah tujuan wisata utama Dairi. Merupakan pintu ke Danau Toba, pinggir pantainya memanjang sampai ke perbatasan Paropo. Yang terakhir ini, masih masuk Dairi, sendiri berbatas dengan wilayah Karo, Tongging.

Silalahi dan Paropo berkedudukan istimewa kalau dilihat dari konteks Danau Toba. Yakni perairannya yang bersebutan ‘Tao Silalahi’ menjadi bagian dari Danau Toba yang paling luas dan dalam. Bagian terdalam dari danau ini  sekitar 450 meter. Dengan kedudukan seperti itu kawasan ini tentunya sangat potensil  kalau dikembangkan menjadi zona wisata danau. Sayang sampai hari ini ia masih ibarat bongkahan raksasa mineral yang belum digali kendati keberadaannya telah lama diketahui. Pemerintah belum mengurusi sehingga kawasan yang eksotik ini, seperti kata orang Sidikalang, begitu-begitu saja dari dulu.

Kalau saja dibenahi dan ditangani secara profesional, kawasan ini bisa menjadi pintu masuk utama turis ke Danau Toba sebab jaraknya lebih dekat dari Medan dan Berastagi dibanding Parapat. Juga bersebelahan dengan Tongging, air terjun termashyur di wilayah Karo.  Tentu wisata airlah yang lebih pas dikembangkan di kawasan ini.

Lihat DAIRI, The Hidden Prosperity (Jansen H. Sinamo dkk. terbit tahun 2000).